Datu Bolon

Kata datu dan pengertiannya tidak ada ditemukan dalam bahasa sanskerta sehingga Datu memang aslinya berasal dari bahasa Batak yang berlaku fungsi di wilayah Tanah Batak jaman dulu. Sebutan ini kemudian berkembang penggunaannya di berbagai wilayah di Indonesia dan bahkan juga menjadi hirarki status sosial di beberapa wilayah di Asia Tenggara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1) datu sama artinya seperti raja, ratu; 2) orang yang pandai tentang ramuan-ramuan obat, dukun; 3) orang yang keramat, orang yang telah meninggal. Dalam konteks bahasa Batak maka datu lebih cocok diartikan dengan 1) raja; 2) orang yang pandai tentang ramuan-ramuan obat, dukun; 3) orang yang keramat. Menurut J.C. Vergouven, datu diartikan sebagai pemimpin kerohanian yang merangkap dukun. Datu Bolon adalah datu yang memiliki banyak kemampuan dan biasanya sudah dianggap sebagai raja di suatu wilayah. 

Bangsa Melayu di gugus kepulauan Sumatra dan Semenanjung Malaysia menggunakan sebutan datu sebagai strata sosial yang disetarakan dengan kekuasaan sebagai seorang raja atau seorang sultan. Sebutan datu kemudian berubah menjadi datuk atau datok. Oleh karena Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara berdaulat yang bukan sebagai negara kerajaan sehingga pamor sebutan seorang datu/ datuk/ datok menjadi tidak penting lagi sebagai penguasa suatu wilayah kecil karena sudah dimandatkan kekuasaannya kepada pemerintah, bahkan penguasaan wilayah yang lebih besar seperti Kesultanan Deli menjadi samasekali tidak lagi dipentingkan kecuali keistimewaan ada diberikan kepada Kesultanan Jogja. 

Di negara Kerajaan Malaysia, kedudukan datu/datuk/datok masih merupakan sebutan yang disetarakan dengan raja atau sultan untuk suatu wilayah-wilayah kecil, bahkan sebutan untuk Kerajaan Diraja (adi raja) masih menggunakan gelar datu/datuk/datok sebagai istilah aslinya dan juga sebutan Sri Maharaja. Demikian pula halnya berlaku juga di negara Kerajaan Brunai. Oleh karena hubungan negara-negara di Asia Tenggara dengan Indonesia sudah berlangsung lama sejak jaman dahulu sebelum berbentuk negara moderen seperti sekarang ini, maka pengaruh istilah-istilah perbendaharaan kata selalu ada hubungannya. 

Di Filipina, kedudukan datu juga setara dengan raja dan sultan. Kalau diambil kesetaraannya dengan para bangsawan di eropah maka datu disetarakan dengan gelar marwis (marquess) yang setingkat atau dibawah gelar duke di Inggris. Beberapa etnis grup yang ada di Filipina juga terdapat sebutan datu yang menempati posisi tertinggi pada strata sosialnya. Misalnya etnis grup yang ada di pulau Mindanau yang disebut Visayan mempunyai strata sosial sejenis kasta dengan sebutan Kalibutan adalah seorang datu pada tingkatan yang paling tinggi, kemudian Potli anak kadung datu dari istri utama (asawa), Tumao sebagai anak datu dari istri lainnya (sandil=gundik), kemudian orang-orang yang loyal kepada raja (datu) seperti Timawa (masyarakat umum, Mati Timawa (para tawanan yang sudah dibebaskan dari hukuman), Oripun (para budak), Bulan (keturunan budak), Bihag (orang tahanan), Hayohan (budak belian). Untuk struktur pemerintahannya datu menjadi orang yang menduduki posisi paling tinggi dengan gelar sebutan Rajah/ Batara/ Sarripada. Bentuk kelembagaannya disebut Kedatuan atau Kedatuaon sebagai kesatuan para datu-datu. Para penasehat datu disebut Pangulo/ Kaponoan/ Makaporos ng Datu. Perdana Menterinya disebut Bendaharra/ Atubang Sa Datu, Pelayan Utama disebut Paragahin, Para ulubalang disebut Bilango, Para serdadu dan prajurit direkrut dari strata Timawas dan Tumawo. Demikianpula etnis Tagalog yang mengakui bahwa mereka berasal dari Sumatra dan Brunai memiliki strata sosial dan yang tertinggi disebut datu sebagai rajah, membawahi beberapa datu-datu lainnya yang disebut Mangino dan Lakan. Para pangeran disebut Maharlikas, masyarakat umum disebut Timawa, budak yang diperbudak karena hutang disebut namamahay, dan keturunan budak disebut alipin, dan budak belian disebut gigilit. 

Kerajaan-kerajaan di Jawa dahulu juga mengenal datu sebagai posisi raja atau sultan. Oleh karena itu kata Kedaton berasal dari kata Ke-datu-an, dan sama halnya dengan kata Keraton dari asal kata Ke-ratu-an. Demikianpula istilah datu sebagai kalangan elit dalam tatanan sosial masyarakat menjadi status yang tinggi dan terhormat dimata masyarakat baik di Tanah Batak maupun di wilayah lain di Indonesia dan bahkan di Negara lain di Asia Tenggara. 

Khususnya di Tanah Batak sekarang ini, kata atau sebutan datu tidak lagi menggambarkan ke-elitan-nya sebagai seorang cerdik cendekia pada masanya, juga tidak lagi memiliki pamor atau bahkan sudah menjadi persepsi negatif seolah seorang datu menjadi pelaku yang tidak sesuai dengan kehidupan sosial masa kini.

Strata sosial masyarakat Bangsa Batak jaman dahulu dapat dikelompokkan menjadi 3 yang disebut Raja-raja – Masyarakat Umum – Hatoban, walaupun dalam pelaksanaan hajatan adat-istiadat tetap setara dalam falsafah Dalihan Natolu dan Tarombo, akan tetapi saat sekarang ini tidak adalagi pengelompokan ini dan semua sederajat sesuai tatanan kekerabatan yang disebut Dalihan Natolu dan Tarombo tersebut. Pada jamannya seorang datu adalah kaum elit di dalam strata sosial masyarakat Batak, kalau untuk saat ini pamornya dapat disetarakan dengan seorang raja atau seorang sultan dalam hal hirarki, bahkan seorang datu malah lebih menjangkau wilayah di kelompok raja-raja lainnya, sehingga kedigdayaan seorang datu yang menjangkau wilayah raja-raja lainnya dapat disebut sebagai Datu Bolon (datu kelas wahid). 

Keunikan strata sosial masyarakat Bangsa Batak bahwa seorang raja bukanlah menjadi status penguasaan fisik terhadap suatu wilayah kekuasaan melainkan wujud kehormatan yang berasal dari garis keturunan dan atau pengakuan masyarakat atas kemampuan dan pengaruhnya untuk memimpin, mengatur, mengayomi masyarakat dalam bentuk kelembagaan yang umumnya dari satu klan marga utama dan marga-marga yang bernaung didalam tatanan adat istiadat di suatu wilayah yang disebut bius. Bentuk ke-raja-an ini tidaklah bersifat monarkis dan justru lebih kental kepada faham demokratis. Setiap klan marga dalam satu bius menjadi semacam pemerintahan yang mengatur tatanan sosial masyarakat dalam satu kelembagaan yang disebut bius yang memang beraliran demokratis. Sedemikian banyak marga-marga pada Bangsa Batak maka sedemikian banyak pula raja-raja yang memerintah di masing-masing bius, makanya Tanah Batak menjadi kawasan yang dikuasai oleh banyak raja-raja dimana satu sama lainnya berdaulat atas bius-bius yang dirajainya serta saling menghargai dan menghormati berdasarkan sistim kekerabatan yang disebut Dalihan Natolu. Apabila seorang raja bius yang kebetulan juga sebagai datu bolon yang mempengaruhi banyak wilayah bius-bius lainnya maka dia akan menjadi mangaraja seperti Dinasti Sisingamangaraja sebagai Raja Batak namun tidak dalam bentuk menguasai atau mengeliminer kekuasaan raja-raja bius, namun raja-raja bius tetap berkuasa penuh atas wilayahnya secara otonom. Maka setiap marga-marga utama dalam satu bius dapat disebut sebagai suku dan semua suku-suku marga disebut bangsa yaitu Bangsa Batak yang berada di Tanah Batak. Oleh karena itu, Batak bukan sebagai suku tetapi sebuah bangsa dengan banyak suku-suku marga. 

Kelembagaan dari bius terdiri dari fungsi-fungsi wilayah dari terkecil yang disebut huta sampai ke bius. Maka urutannya adalah huta – horja – bius. Jajaran fungsi raja-raja dalam satu bius disebut Raja Bius (Raja Junjungan/Raja Doli/ Raja Pandapotan/ Raja Ijolo, menduduki posisi tertinggi dalam kelembagaan tertinggi, boleh disebut sebagai Presiden), Raja Partahi (posisi sebagai wakil raja Raja Bius), Raja Horja (sebagai perwakilan dari beberapa perkampungan marga) boleh juga disebut sebagai Menteri Kordinator, Raja Huta (utusan tertinggi dari setiap kampung, boleh disebut sebagai Kepala Daerah / Gubernur), Raja Panimbang (semacam Dewan Pertimbangan Agung), Raja Partingting (semacam Menteri Penerangan), kemudian biasanya kelembagaan ini akan diisi oleh para ahli yang bersifat teknis yang disebut pande (orang pandai) semacam Kandep untuk departemen-departemen yang membidangi keahlian masing-masing seperti pandai besi untuk membuat senjata dan alat-alat pertanian, ahli bangunan untuk mendirikan bangunan rumah dan perkampungan, ahli pertanian untuk mengatur pengairan, dan pande-pande lainnya seperti para datu diberbagai bidang. Makanya tatanan kemasyarakatan Bangsa Batak dahulu sudah bercirikan pemerintahan moderen sekarang. Seandainya Bangsa Batak membentuk Negara maka tidak lagi kesulitan untuk bembentuk format pemerintahan oleh karena sejak dahulu sudah berlaku sebagai tatanan sosial kemasyarakatan. 

Pada masa Paderi mulai melakukan intervensinya maka raja-raja bius mulai terakomodir dalam satu kepemimpinan oleh Raja Sisingamangaraja-X yang juga dikenal sebagai datu bolon. Untuk mengkoordinir raja-raja bius di Tanah Batak maka dibentuklah perwakilannya di empat wilayah dan setiap wilayah dipimpin oleh seorang yang disebut Raja Naopat. Dalam satu wilayah, Raja Naopat bekerjasama dengan 3 raja lainnya dan mereka disebut Raja Maropat. Disamping itu Raja Sisingamangaraja menyusupkan raja-raja Parbaringin dalam setiap kekuasaan raja-raja bius untuk menyebarkan keagamaan Parmalim, dimana sebelumnya masyarakat Bangsa Batak hanya menganut agama Mulajadi yang monotheis. Maka sejak terjadinya Perang Saudara Paderi antara Batak Selatan yang membawakan pemaksaan faham Islam oleh Agressor Bonjol dengan Batak Utara yang masih menganut faham monotheis Mulajadi. Sejumlah 16 (4 x 4) raja-raja utama dalam bentuk pemerintahan yang diciptakan oleh Raja Sisingamangaraja-X ditambah dengan raja-raja parbaringinnya, ditambah dengan raja-raja bius yang sudah solid terbentuk sebelumnya secara monopolis, ternyata tidak mampu membendung agressor Tuanku Imam Bonjol, sehingga hancurlah tatanan habatakon di Tanah Batak. Raja Sisingamangaraja-X terpenggal lehernya dalam peperangan itu. 

Tidak lama Tanah Batak dikuasai oleh Paderi dimana akhirnya mereka dikalahkan oleh Begu Antuk (= hantu ketok, bukan ketok magic, tetapi sejenis penyakit kolera yang diciptakan oleh para datu), sehingga mereka keluar dari Tanah Batak Utara. Kekalahan dari Paderi mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di Tanah Batak. Raja Sisingamangaraja-XI tidak mampu mengembalikan keyakinan rakyat Batak Utara. Para raja-raja parbaringin dan para datu kehilangan pamor di masyarakat tetapi yang berfungsi hanyalah raja-raja bius. Kehilangan keyakinan terhadap kepercayaan Parmalim termasuk kehilangan keyakinan akan kedigdayaan Dinasti Raja Sisingamangaraja mengakibatkan adanya chaos (kekacauan dan ketidakpastian) kepemimpinan Raja Batak. 

Sejak penyerahan Sumatra Barat oleh Inggris kepada Belanda maka Belanda mulai bercokol di Tanah Batak Utara. Memang banyak penolakan oleh raja-raja bius, tetapi kepemimpinan Raja Batak yang pada masa itu masih dipegang oleh Raja Sisingamangaraja-XI (teoritis, karena masih anak kecil) tidak lagi sepenuhnya diakui oleh raja-raja bius, maka dengan mudah kolonial belanda memecah kesatuan Bangsa Batak di Utara. Sementara itu Kolonial Belandapun sibuk juga membantu perang saudara lainnya di Tanah Batak Selatan dimana para tentara Paderi yang sebelumnya menghancurkan Tanah Batak Utara berbalik menentang Paderi dan berperang dibantu oleh Belanda. 

Keadaan keos di Tanah Batak Utara menjadi Blessing in disguise (karunia tersembunyi) bagi evangelisasi Kristen dimana sebelumnya tidak pernah mampu menyusupkan fahamnya karena kalah pamor dengan Agama Mulajadi, yang sejak jaman purba sudah diyakini oleh Bangsa Batak dan memang ternyata Bangsa Batak aman-aman saja pada masa itu. I.L. Nommensen dianggap berhasil menjalankan missinya. Masuknya faham Kristen oleh I.L. Nommensen, penguasaan kolonialis Belanda secara perlahan dan pasti telah merubah tatanan sosial Bangsa Batak. Agama Mulajadi mulai terkikis, Parbaringin dengan Parmalimnya yang dimulai kampanyenya semasa Sisingamangaraja-X tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik bagi masyarakat. Karena kebetulan pula bahwa agama Parmalim juga mengharamkan daging babi sama seperti Islam, sementara Bangsa Batak pada masa itu sangat doyan dengan daging babi dan bahkan menjadi penganan adat istiadat. Kekhawatiran ini membawa Raja Sisingamangaraja-XII memproklamirkan perang kepada kolonialisme Belanda. Maka terjadilah Perang Batak yang berlangsung selama 30 tahun (1877 – 1907), dan Raja Sisingamangaraja-XII tewas dalam suatu serangan tentara kompeni di Sionom Hudon dan berahirlah perjuangan Bangsa Batak terhadap kolonialisme Belanda. 

Semasa Penjajahan, Pemerintahan Kolonial menyusupkan keterwakilannya dalam pemerintahan bius, sehingga kelembagaan bius ditambahkan seorang pemimpin yang disebut Raja Ihutan, sementara kekuasaan Raja Naopat di empat wilayah Tanah Batak yang dibentuk oleh Sisingamangaraja tidak lagi berperan penting, termasuk masing-masing 4 Raja Maropat di empat wilayah Tanah Batak itupun mandul. 

Peranan datu yang sejak dahulu kala di jaman purba merupakan kaum elit dalam strata sosial Bangsa Batak secara pelan dan pasti terhapuskan oleh semakin kuatnya pengaruh Islamisasi dan Kristenisasi, malah menjadi tertuduh sebagai media penyembahan berhala atau sipelebegu. Benarkah para datu di Tanah Batak sebagai simbol-simbol penyembahan berhala? Untuk saat ini perlu ada kajian yang lebih teliti oleh para ahli sejarah, oleh karena pada jamannya dahulu kala bahwa datu merupakan simbol-simbol intelektual Bangsa Batak dan bahkan sebagai media penyampai untuk berhubungan dengan Pencipta Alam Semesta yang disebut Mulajadi Nabolon sewaktu Bangsa Batak masih menganut agama Mulajadi. Kalau kita mau mengambil perbandingan fungsi sebagai nabi yang berlaku pada agama Jahudi di jaman dahulu bahwa untuk berhubungan dengan Yahwe haruslah melalui seorang nabi. Contoh ilustratif dapat dipetik dari kisah-kisah Raja Daud dan Raja Sulaiman sewaktu berkuasa di Israel/Jahudi. 

Telah dipaparkan bahwa datu sebagai kalangan elit pada strata sosial Bangsa Batak jaman purba dan masuk dalam kelompok yang melembaga sebagai pemegang mandat untuk memerintah masyarakat. Datu adalah cerdik cendekia yang mengenal Aksara Batak untuk memahami keilmuan yang dimilikinya. Sedemikian banyak bidang ilmu yang dimiliki oleh Bangsa Batak pada masa itu maka sedemikian banyak pula klasifikasi datu. Oleh karena datu sebagai cerdik cendekia maka mereka adalah para sarjana Bangsa Batak yang pernah menjadi ujung tombak untuk mempertahankan eksistensi Bangsa Batak dalam pergaulan antar bangsa pada masa itu. 

Fungsi sosial seorang datu dapat digelarkan seperti berikut ini: 

1. Datu sebagai pemegang kepemimpinan keagamaan.

2. Datu sebagai guru yang mengajarkan bidang keilmuannya.

3. Datu sebagai dokter yang menjaga kesehatan masyarakatnya dari penyakit.

4. Datu sebagai hakim, penengah dalam perselisihan diantara masyarakatnya.

5. Datu sebagai penentu tataletak pendirian suatu kampung dan rumah.

6. Datu sebagai penentu hari baik pelaksanaan suatu hajatan.

7. Datu sebagai penentu hari baik untuk bercocok tanam.

8. Datu sebagai penentu strategi perang.

9. Datu sebagai oknum yang mengarah pada praktek dukun santet.

10. Dan banyak lagi fungsi lainnya. 

 

Sebagai gelar maka datu dinamai dengan sebutan berikut: 

1. Datu Panaoar, ahli dalam ilmu pengobatan.
2. Datu Pangarambu, ahli meramal berdasarkan penanggalan.
3. Datu Panusur, ahli pidato.
4. Datu Panuju, ahli cuaca dan klimatologi.
5. Datu Parmangmang, Ahli menolak bala dan malapetaka.
6. Datu Pasipuspus, Ahli dalam ilmu gaib (hitam & putih).
7. Datu Partangdang, ahli kemasyarakatan.
8. Datu Partonggo, ahli menghubungkan arwah orang mati kepada orang hidup.
9. Datu Parbaringin, ahli menetapkan hari baik.
10. Dan banyak nama lain yang digelarkan kepada datu.
 

Selanjutnya kunjungi Resep-resep Datu Bolon dan klik disini: Resep-resep Datu Bolon

Back home again

Leave a comment