Cerita Dahulu (Bagian-1)

Kerajaan Nirwana (Banua Ginjang)

Sesaat aku tiba di puncak sebuah gunung yang disebut sebagai Dolok Pusuk Buhit, di Tanah Batak. Konon Dolok Pusuk Buhit adalah sebagai tempat asal muasal Bangsa Batak, bahkan menurut legendanya adalah sebagai tempat asal mula pertama sekali manusia ada dan menyebar kesegala penjuru di bumi ini. Beginilah legenda cerita yang dimitoskan: 

Tersebutlah Mulajadi Nabolon pencipta alam semesta beserta isinya yang bersemayam di Banua Ginjang. Mulajadi Nabolon menciptakan tujuh tingkat langit dan benda benda langit, dan matahari disebutkan sebagai anaknya, sebagaimana selalu disebutkan para leluhur Bangsa Batak dalam mantra (doa) pemujaannya seperti: 

“Ya Tuhan Tiga yang esa (Debata Natolu), tiga rupa, tiga kekuasaan dari langit berlapis tujuh, dari embun berlapis tujuh, yang sehati dan sepakat dengan Tuhan Pencipta Alam Semesta (Mulajadi Nabolon), Maha Pembimbing Maha Pengajar”. 

Maka diciptakanlah langit bertingkat tujuh yang kelak sebagai tempat bersemayamnya arwah manusia berdasarkan amal dan perbuatan selama hidupnya di bumi Banua Tonga. Langit yang ke tujuh merupakan singgasana Mulajadi Nabolon dengan para dewa-dewa lainnya. Mulajadi Nabolon juga menciptakan belangit seperti Matahari, Bulan, dan Bintang. Matahari disebutkan sebagai anak dari Mulajadi Nabolon dan disebut juga sebagai Angkalau bila sedang terjadi gerhana. 

Bila terjadi gerhana matahari maka disebut Bulan menelan Matahari, demikian sebaliknya bila terjadi gerhana bulan maka disebut Bulan ditelan oleh Matahari. Bulan diciptakan satu buah tetapi mendapat tiga nama sesuai dengan suasana keberadaannya, yaitu Bulan Sasabi, Bulan Tula, Bulan Mate. Demikian pula bintang-bintang yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan jumlahnya tetapi hanya beberapa yang mempunyai nama antara lain adalah Bintang Sialapariama, Bintang Sialasungsang, Bintang Marihur, Bintang Martimus, Bintang Bisnu, Bintang Borma, Bintang Sori, Bintang Ilala, Bintang Sijombut, Bintang Sigaraniapi, Bintang Sidongdong, dan lainnya yang tidak disebutkan namanya satu persatu. 

Mulajadi Nabolon lalu menciptakan para penghuni Banua Ginjang yang bertugas sebagai pembawa pesan dan utusan untuk segala ciptaan. Maka tersebut pula malaikat yang disebut Leangleangmandi berwujud sejenis serangga untung-untung besar. Leangleangmandi mendapat tugas sebagai penyampai pesan diantara para dewa-dewa dengan Mulajadi Nabolon. Debata Asiasi berwujud sejenis burung dan tiga fungsi, benama Manuk Patiaraja, Manuk Hulambujati, dan Manuk Mandoangdoang. Ada juga dewa penghuni Banua Ginjang yang disebut sebagai Debata Natolu, berwujud manusia bernama Debata Bataraguru, Debata Sori, Debata Mangalabulan. 

Di Surga Banua Ginjang sebagai tempat bersemayamnya Mulajadi Nabolon dan para dewa-dewa, ada tumbuh sebatang pohon yang disebut pohon Sangkamadeha atau Sikkam Mabarbar atau Siara Sundung Disebutkan Sikkam Mabarbar karena dipercaya sebagai peramal kehidupan manusia. Disebut siara Sundung karena pohon itu tumbuh di Nirwana dan sampai di Dunia Tengah. Siara Sundung yaitu sejenis pohon beringin, dimana ulat dari pohon itu terjatuh di Banua Ginjang dan menjelma menjadi dewa tritunggal yang disebut Debata Asiasi mempunyai tiga peran sebagai Manuk Patiaraja dan disebut juga sebagai Manuk Hulambujati dan juga disebut sebagai Manuk Mandoangdoang. Dewa, Debata Asiasi adalah satu wujud yang memiliki tiga perilaku sesuai fungsi dan penugasannya oleh Mahapencipta Mulajadi Nabolon. 

Para penghuni Banua Ginjang didalam kekuasa Kerajaan Mulajadi Nabolon adalah Leangleangmandi, Untunguntung Nabolon, Borongborong Badar, Lampulampu Nabolon, Debata Asiasi yang berwujut tritunggal yaitu Manuk Patiaraja, Manuk Hulambujati, Manuk Mandoangdoang, sebagai mahluk dewa yang melayani Mulajadi Nabolon untuk alam semesta dan segala isinya yang diciptakannya. Lalu Melalui dewa-dewi langit ini, mereka menciptakan penghuni surga di Banua Ginjang yang akan memerintah segala alam ciptaan seperti Debata Natolu yang terdiri dari Debata Bataraguru, Debata Sori, Debata Mangalabulan, lalu Na mapultak sian bulu yang terdiri dari tiga putri dan kemudian masing-masing menjadi istri Debata Natolu yaitu Siboru Portibulan, Siboru Malimbim, Siboru Anggarana. Demikianlah nama-nama dan generasi penghuni Banua Ginjang yang menjadi dewa-dewa di dalam Kerajaan Mulajadi Nabolon. 

Debata Asiasi dalam perilaku sebagai Manuk Patiaraja mempunyai tiga butir telur yang besarnya seukuran kendi dan tidak mampu dieraminya sehingga dia menjumpai malaikat Leangleangmandi agar mau menyampaikan pesan kepada Mulajadi Nabolon. Pesan itu disampaikan Leangleangmandi kepada yang mulia Mulajadi Nabolon yang kemudian bertitah melalui Leangleangmandi agar Manuk Patiaraja mengerami telurnya dan menyiapkan sebelas butir beras untuk dimakannya setiap bulan satu butir sambil menggeser posisi telurtelur tersebut selama satu tahun. Maka Manuk Patiaraja melaksanakan titah tersebut, dan pada bulan keduabelas paruhnya terasa gatal lalu dia mematuk telur-telur tersebut satu persatu dan keluarlah mahluk dewa berwujud manusia. Dari telur pertama bernama Debata Bataraguru yang akan menjadi pemegang kuasa yang sebagai sumber Keabadian, Kebijaksanaan, Hukum Keadilan, Hukum Kerajaan, Pengetahuan, menguasai nasib dan takdir. Dari telur kedua keluar mahluk dewa bernama Debata Sori, yang nantinya memegang kuasa atas manusia untuk kebesaran, keagungan, dan kharisma. Dari telur ketiga keluar Debata Mangalabulan yang berkuasa atas manusia untuk memberi Kekuasaan, Kekuatan, Kesaktian. Ke tiga dewa-dewa ini disebut sebagai Debata Natolu. 

Demikianlah terlahir tiga dewa yang akan menguasai alam ciptaan Mulajadi Nabolon. Beberapa lama kemudia Debata Asiasi berganti dalam wujud Manuk Hulambujati juga mengerami tiga potong bambu, sama halnya seperti wujud Manuk Patiaraja yang menetaskan tiga butir telur yang menjadi Debata Natolu. Manuk Hulambujati kemudian mengeluarkan tiga putri cantik yang masing-masing satu dari setiap bambu. Dari bambu pertama keluar putri bernama Siboru Portibulan, dari bambu kedua keluar putri Siboru Malimbim, dan dari bambu ketiga keluar putri Siboru Anggarana. Demikian pula terlahirnya tiga dewi yang menjadi penghuni surga. 

Setelah tiga putri tersebut dewasa, Debata Asiasi ingin agar putri-putri ini mendapat pasangannya, maka dia menghubungi Leangleangmandi agar menyampaikan permohonannya kepada Mulajadi Nabolon yang kemudian mengabulkannya dengan bertitah agar ketiga putri tersebut menjadi istri-istri dari Debata Natolu sesuai urutannya, dan demikianlah mereka berpasang-pasangan. Mulajadi Nabolon bertitah kepada mereka bahwa Debata Bataraguru dan keturunannya akan menguasai segala misteri Banua Ginjang seperti ilmu-ilmu kebijaksanaan dan keadilan bagi seluruh ciptaan. Kemudian kepada Debata Sori diberi kuasa keduniaan di Banua Tonga berupa kekuasaan, kebesaran, keagungan, charisma. Debata Mangalabulan dan keturunannya kuasa menguasai Banua Toru dengan segala misteri pencobaan, bencana-bencana sebagai konsekwensi bagi ciptaannya.

Dari pasangan Debata Bataraguru dengan Siboru Portibulan mendapat keturunan dua anak laki-laki bernama Mulasongta, Mulasongti dan dua putri Siboru Sorbajati dan Siboru Deakparujar. Dari pasangan Debata Sori dengan Siboru Malimbim mendapat keturunan bernama Sorimatinggi dan Sorimatonga, dan dua putri bernama Nan Bauraja, Narudang Ulubegu. Sementara dari pasangan Debata Mangalabulan dengan Siboru Anggarana mendapat keturunan bernama Raja Odapodap, Raja Padoha, dan dua putri Siniangnaga, Leang Nagarusta. 

Karena para keturunan Debata Natolu sudah berumur dewasa maka Mulajadi Nabolon melalui Leangleangmandi kepada Debata Asiasi yang bernama Mandoangdoang memberi aturan hukum yang harus berlaku selamanya untuk hubungan kekerabatan diantara keluarga-keluarga Debata Natolu yaitu Anak Batara Guru harus mengawini putri Debata Soripada, Anak Debata Soripada harus mengawini putri Debata Mangalabulan, dan Anak Debata Mangalabulan harus mengawini putri Debata Bataraguru.  Aturan perkawinan diantara keturunan dewa-dewa inilah yang menjadi awal adanya tatanan kekerabatan di Banua Ginjang yang disebut ‘Dalihan Natolu’ sehingga penghuni langit di Banua Ginjang tidak boleh melakukan perkawinan berpantang diluar yang dititahkan oleh Mulajadi Nabolon.

Awal Falsafah Batak 'Dalihan Natolu'

Awal Falsafah Batak 'Dalihan Natolu'

Silsilah Kerajaan Banua Ginjang Ciptaan Mulajadi Nabolon

Silsilah Kerajaan Banua Ginjang Ciptaan Mulajadi Nabolon

Demikianlah dewa dan dewi sebagai penghuni Banua Ginjang dan mereka bukan dilahirkan secara biologis, tetapi berdasarkan proses dan hukum-hukum yang berlaku di Banua Ginjang atas Titah Mulajadi Nabolon. Keturunan mereka bertumbuh dewasa dan demikian pula Debata Mangalabulan bergundah gulana karena anaknya yang kedua bernama Odapodap berwujud ‘ilik’ sejenis kadal besar sehingga dia selalu sembunyi dan hampir tak pernah keluar dari tempat tinggalnya. Oleh karena itu maka Debata Mangalabulan memohon kepada Mulajadi Nabolon agar merestui untuk mengawinkan anaknya ini kepada salah satu putri abangnya Debata Bataraguru, dan permohonan itu disetujui karena itu memang sudah hukumnya. Debata Mangalabulan datang kepada Debata Bataraguru menyampaikan maksud hatinya, maka dia meminta putrinya Siboru Sorbajati untuk setuju ditunangankan kepada Si Raja Odapodap, namun Siboru Sorbajati bersusah hati karena mengetahui Siraja Odapodap yang berwujud ‘ilik’, tetapi dia tidak mampu menolak permintaan ayahnya karena memang sudah hukumnya demikian. Kekalutan pikirannya membuat dia mengambil keputusan untuk turun saja ke Banua Tonga yang pada saat itu masih diselimuti oleh lautan dan tak ada tempat untuk berpijak. 

Siboru Sorbajati meminta kepada ayahnya agar dilaksanakan acara gondang (seperangkat alat musik tradisional yang digunakan dalam acara ritual  semalaman dan agar dia dapat manortor (menari tarian tradisional) sebagai perpisahan kepada keluarganya. Acara dilaksanakan, Siboru Sorbajati sangat serius dan asyik menari sehingga dia mengalami kesurupan. Dalam keadaan kesurupan, Siboru Sorbajati seolah mendapat kekuatan luarbiasa sehingga dia mampu melompat ke Banua Tonga yang masih diselimuti oleh air.

Sebelumnya <<<>>> Selanjutnya

9 Responses to “Cerita Dahulu (Bagian-1)”

  1. dheviana benawar Says:

    Selamat sore ka, dalam pembuatan artikel ini apa ada buku referensinya atau teori mengenai filosofi warna khas batak ka? karna saya sedang meriset tentang filosofi warna khas batak. Terima kasih

  2. Bro .. kira-kira bisa bantu gak informasi lebih rinci mengenai konstelasi-konstelasi; Bintang Marihur, Bintang Martimus, Bintang Bisnu, Bintang Borma, Bintang Sori, Bintang Ilala, Bintang Sijombut, Bintang Sigaraniapi, Bintang Sidongdong, dsb-nya itu bisa di dapat dari mana ya? Setidaknya arti dari nama-nama bintang tersebut (maklum Batak ktp nih hehehe)

    • Sorry bung… sudah cukup lama tidak updating thd blog2 yg saya kelola sehingga agak luput dari perhatian. Mengenai bintang2 dalam astrologi Batak memang tidak banyak referensi yang memaparkannya. Selain nama2 bintang yang disebutkan di atas masih adalagi tentang gugusan bintang yang disebut dalam Permesa (Horoscope). Yang disebutkan ‘bintang’ oleh leluhur batak tsb belum tentu masuk dalam kategori bintang yang dikenal dalam ilmu astronomi. Sebagai contoh Bintang Marihur dan Bintang Martimus kemungkinan besar hanyalah jenis komet yang tertangkap oleh mata telanjang. Kalau Bintang Bisnu dikenal juga sebagai Bintang Visnu (Wisnu – Hindu) atau Bintang Orion atau Bintang Timur. Sementara Bintang Sihala (Ilala) sama sebagai gugus bintang Scorpio dan Sigara Niapi kemungkinan besar mengartikan bintang pada tatasurya lain, atau boleh jadi hanya untuk menyebutkan Planet Mars. Dalam buku Pustaha Tumbaga Holing – Raja Patik Tampubolon mungjin ada sedikit penjelasan tentang bintang ini.

      • mengenai parhalaan dan permesa tidak masalah, saya bisa mengurai sejarah Batak antara 17.000-8000 tahun lalu berdasarkan konstelasinya … sementara persatu bintangnya itu (martimus, marihur, etc) mengingatkan pada tradisi Polinesia, memang lebih kompleks, tetapi mungkin membantu, btw Tumbaga Holing itu berasal dari Toba-Samosir atau di luar wilayah tsb? Kalau di luar, mungkin agak sulit penguraiannya, btw terima kasaih atas info-nya..

      • Bung Hesperonesia, Tumbaga Holing benar berasal dari Batak Toba, namun sayangnya ditulis dalam Bahasa Batak Toba juga, sepertinya belum ada terjemahannya?

      • ttg tumbaga holing itu sayang juga ya … saya ada ide untuk membukukan kronologi batak .. mungkin dari unsur mitologi beberapa saya kutip dari blog ini .. gpp ya lae? kalo dari turi-turian terlalu banyak versinya

      • By all means, silahkan

  3. reza sihotang Says:

    Bapak/Ibu…. saya liat cerita ini bagus,,,,
    sehubungan ada perlombaan cerita rakyat
    saya berniat untuk memperlombakan cerita ini ke…
    sebelumnya saya mau minta izin sama Bapak/Ibu.
    mohon penjelasnya?

    • @Reza Sihotang
      Terima kasih atas apresiasinya. Boleh saja, dengan mencantumkan referensinya dari Buku “Perjalanan Spiritual Ketanah Batak”, Karena Buku itu masih belum diedarkan tahun ini, mungkin Tahun Depan.

Leave a comment